Selasa, 27 Januari 2015

PRAJURIT PANGERAN DIPENOGORO: RADEN ADIPATI RONODIKORO (EYANG RONODIKORO)

   Riwayat hidup Eyang Ronodikoro tidak banyak diketahui oleh keturunannya sendiri, yaitu anak-anaknya yang berjumlah 9 orang. Hali in dikarenakan, pertama Eyang jarang berada di rumahnya untuk berkumpul dengan keluarga. Kedua, memang tidak mau banyak bercerita tentang jati dirinya untuk melindungi diri dan keluarganya, alasannya saat itu yang ditakuti adalah "Landa Ireng" yaitu sesama orang Jawa yang suka berkhianat pada bangsa sendiri dan menjadi penjilat Belanda.  Ketiga, karena kegiatan Eyang kebanyakan jauh dari rumahnya untuk bersama beberapa temannya seringkali menyergap tentara Belanda yang tercecer dari rombongan, lalu si Belanda dijerat lehernya sedangkan mulutnya dibungkam temannya yang lain. Selanjutnya bedil (senapan),  dan sepatunya dilucuti, karena waktu itu Eyang dan temannya masih telanjang kaki, jadi butuh memiliki sepatu.

 Sedangkan bedil yang cuma punya satu peluru  berbentuk bulat di jaman itu akan digunakan untuk menembak tentara Belanda dari kejauhan sambil bersembunyi. Tetapi Eyang dan temannya tidak menembak orang Belanda yang sipil, seperti pegawai, anak-anaknya atau wanita Belanda.

   Sekelumit tentang siapa Eyang yang bernama lengkap Raden Adipati Ronodikoro berhasil diungkap melalui dialog "bathin" oleh adikku sendiri. Adikku tidak pernah belajar ilmu kebathinan atau berguru ilmu ghaib, tetapi karena karunia Tuhan dia bisa melihat arwah dan mahluk ghaib lain serta mampu berdialog bathin (telepati) dengan semua mahluk tersebut. Menurut adikku juga, penampakkan halus Eyang selalu mendampingi salah satu keturunannya yang dianggap "bersih" dan tampak bersinar tubuhnya karena sering lelaku, seperti berpuasa, mutih, pati geni dan olah prihatin lain kepada Tuhan. Dengan demikian kehadiran sosok Eyang tersebut bukan saja diketahui riwayatnya, juga memungkinkan wajah dan rupanyanya berhasil dilukis dengan bantuan seorang pelukis berdasarkan penuturan dan bimbingan adikku.

   Menurut Eyang, ia sebenarnya berasal dari Yogyakarta dan pada sekitar umur 23 tahun ikut bergabung menjadi prajurit Pangeran Dipenogoro ketika berperang melawan Belanda, yang dikenal sebagai perang Jawa pada tahun 1825-1830. Sebagai perajurit dia sering kebagian tugas merawat dan memberi pakan kuda Pangeran Dipenogoro yang berwarna putih, sedangkan menurut Eyang kuda Sentot Prawirodirjo  berwarna cokelat. Oleh Pangeran Dipenogoro, Eyang diajarkan cara bertempur dan menggunakan senjata api (bedil). Eyang selama terlibat langsung dalam pertempuran Perang Jawa, mengaku sempat ikut tinggal di goa Selarong bersama Pangeran Dipenogoro dan para prajurit maupun pengikut lainnya.

   Ketika Pangeran Dipenogoro ditangkap Belanda di Magelang akibat tipuan dan  taktik licik Jenderal Belanda, de Kock yang ingin mengakiri perang Jawa liwat jalur perundingan, Eyang bersama beberapa temannya berpencar melarikan diri ke arah Barat, sedangkan yang lain ada yang kabur ke arah Jawa Timur. Mereka para prajurit dan pengikut Pangeran Dipenogoro yang kabur dengan menaiki kudanya banyak yang tidak selamat dan tewas, karena ditembaki tentara Belanda termasuk kudanya ikut ditembak. Eyang berhasil kabur  dari sergapan Belanda lalu melarikan diri masuk ke wilayah Banyumas bersama seorang adiknya. Ketika dalam pelarian menyamar sebagai pedagang singkong dan pisang, lalu pergi dengan menumpang naik sepur (kereta api) untuk kemudian sembunyi di tempat yang dirasa aman yaitu di desa Notog, Patikraja, Purwokerrto (Keturunannya kelak beranak pinak di desa itu). Namun kemudian adiknya, Ronotunggul (Tanto) berkeras hati memilih tempat persembunyian lain di kawasan Banyumas, selanjutnya mereka tidak pernah bertemu lagi. Sedangkan dua orang kangmasnya (abang) dan ibunya kala itu diperkirakan memilih sembunyi di daerah Yogyakarta.

   Sejarah mencatat Perang Dipenogoro hanya berlangsung selama lima tahun, tetapi tidak tercatat setelah itu masih ada perlawanan kecil dan sporadis pada pasukan Belanda, dengan melibatkan sedikit orang dari sisa prajurit dan pengikut Pangeran Dipenogoro, termasuk di wilayah Banyumas mereka menyerang memakai teknik secara "Hit and Run".

   Eyang juga mengakui bahwa semasa hidupnya tekun menjalani puasa wetonan (puasa sesuai hari kelahiran sendiri berdasarkan hitungan penanggalan Jawa). Ia pernah diberi keris luk 7 oleh Pangeran Dipenogoro. Ayah Eyang Ronodikoro adalah Raden Adipati Joyoningrat, sedangkan ibunya Raden Ayu Soeparti dari daerah Tegalrejo, Yogyakarta. Kakek Eyang bernama Raden Adipati Rakadiningrat. Eyang punya 3 saudara yang kesemuanya laki-laki. yaitu Ronoradiman (Manto), Ronoprianto (Anto) dan adiknya Ronotunggul (Tanto). Menurut Eyang hubungannya dengan Pangeran Dipenogoro , karena masih eyang.

   Ketika Eyang telah tiada, semangatnya yang anti Belanda diteruskan salah satu cucunya dengan bergabung dalam pasukan Divisi Siliwangi. Dan pernah terlibat beberapa pertempuran melawan Belanda di wilayah Yogyakarta, termasuk dalam peristiwa "Serangan Oemoem" dan pernah ikut dalam peristiwa "long march Divisi Siliwangi", hingga kakinya pernah luka terkena pecahan mortir ketika ia dan teman-temannya disergap pasukan Belanda. Cucunya yang dimaksud itu adalah Mbah Soewarno K. yang pada masa kemerdekaan mendapat penghargaan piagam perang gerilya dari Bung Karno (Presiden Soekarno) dan waktu pensiun berpangkat Kolonel. Cucunya yang lain, Mbah Soeparno pernah terlibat dalam peristiwa pemberontakan di kapal Belanda, Seven Provincen di Teluk Jakarta. Keduanya ketika meninggal walaupun mempunyai hak utuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, tetapi lebih memilih dikubur di makam milik keluarga di bukit Keser, Patikraja, Purwokerto karena beranggapan ingin berkumpul lagi dengan kerabat sendiri di areal yang sama (ngumpul-ngumpulke balung pisah). *****