WUJUD senjata tikam warisan masyarakat masa lampau dengan sebutan Keris alias Dhuwung, dan dinamakan juga Curigo oleh masyarakat di kepulauan Nusantara , khususnya di kalangan orang Jawa dianggap sebagai benda pusaka yang penanganan dan perawatannya perlu melewati cara-cara istimewa. Karena itu pula dimasukanlah keris dalam kelompok " tosan aji " alias besi betuah.
Menyangkut teknik pembuatannya oleh ahlinya yang disebut Empu, hingga kini masih terbatas diketahui cara penggarapannya. Hal ini antara lain disebabkan pengetahuan perkerisan bersifat turun temurun dan tidak ada pedoman tertulis yang diwariskan para Empu. Makanya pembahasan tentang keris yang diketahui kebanyakan berkisah tentang "kegaibannya". Kisah daya gaib pada keris itu pun dari jaman ke jaman berikutnya berbeda pula kadar kegaibannya.
Menurut Drs. Hamzuri (Petunjuk Singkat Tentang Keris, 1973) keadaan seperti tersebut di atas merupakan faktor yang menambah sukarnya pembuktian, dan baru sedikit yang bisa dipercaya dari hasil pengunkapan peneliti. Serba kerahasiaan itu kiranya tidak saja meliputi cara membuat keris, melainkan juga mengenai kapan mulai dikenal Keris.
Ada dugaan, berdasarkan pada relief dan arca di candi dari jaman Hindu dan Budha di Jawa Tengah menunjukkan keris barulah lahir pada abad ke-10. Selain itu juga dikenal berdasarkan kisah sejarah tentang keris pesanan Ken Arok kepada Empu Gandrring di Jawa Timur. Keris yang belum rampung dikerjakan sang Empu digunakan untuk membunuh Akuwu Tunggul Ametung dari Tumapel. Tak lama setelah melakukan pembunuhan, Ken Arok mendirikan kerajaan Singosari.
Dikeramatkan
Kemampuan bertahan menghdapi jaman karena dibuat secara teknik penempaan tertentu dan dari bahan logam pilihan, akhinrnya keris dapat bertahan, tidak mudah karat atau korosi, tapi bisa awet bilahannya apalagi bila ditangani dengan cara perwatan yang benar. Keris di masa modern akhirnya diakui sebagi bukti maju nenek moyang yang sudah menguasai teknik mencampur logam, untuk dijadikan keris bernilai tinggi, dan sudah memahami tentang bermacam berat jenis logam.
Selain itu para Empu sudah hebat pengetahuan metalurginya, untuk menentukan titik lebur masing-masing logam yang berbeda-beda, seperti pada meteorit, besi dengan baja, nikel, tembaga, bahkan juga titanium, hanya berdasarkan pada pengalaman dan ketrampilan sederhana menentukan perangai logam.
Teknik sederhana yang diterapkan berupa "ditinting" (dipukul-pukul untuk didengar pantulan suaranya), diraba, dicium baunya, dilamat atau dicari pengaruh sugestinya. Karena masing-masing jenis logam dianggap berdaya pengaruh berlainan. Begitupun pada taraf selanjutnya, kandungan unsur "gaib" yang bakal terisi, sangat tergatung pada kemampun masing-masing Empu.
Sampai kini diyakini, setiap empu sebelum mulai menggarap bilahan keris, mesti membersih diri (melakukan sesuci) lahir-bathin antara lain dengan bertapa dan semedi. Setelah mendapatkan ilham untuk mengawali pembuatan, biasanya Empu juga memiih hari baik agar daya gaib pada keris garapannya bisa tepat dan ampuh. Mengingat pada proses pembuatannya tersebut, menyebabkan perawatan keris juga harus dengan perlakuan khusus. Empu dalam bekerja membuat keris biasanya dibantu juga oleh beberapa calon Empu.
"Dhapur" keris bila sudah terbentuk, ada yang menganggap sudah "jadi" meskipun penampilan "wilahannya" masih sederhana dan belum sempurna. Karenanya sudah ada yang memberi nama selaras jenis dhapurnya, baik pada keris berbentuk "luk" (berkelok) maupun lurus. Umpamanya terhadap penamaan keris Dhapur Sabuk Inten pesanan Sunan Kalijaga, pada masa kerajaan Demak kepada Empu Joko Supo, guna tumbal kekuatan kerajaan. Selain itu ada juga pemberian nama berdasarkan "pamornya", yaitu berdasarkan corak lukisan yang terapat paada wilahan keris. Namun dijumpai pula pemberian nama keris sesuai peristiwa penting yang berhubungan dengan saat dibuatnya keris, misalnya keris Kyai Lawang.
Bukan Sekedar Senjata
Dari proses pembuatan keris hingga sampai pada taraf "pengisian gaib", akhirnya terlihat mengarah pada mengutamakan kekhasan kharisma isinya yang disebut "tanjeg". Karena itu tidaklah heran , keris pada tempo dulu amat mementingkaan mutu tanjeg, belum pada pemikiran memproduksi keris secara massal apalagi untuk tujuan yang bisa disamakan dengan barang komersial.
Mengutamakan keris pada khasiat tanjeg, di samping sebagai senjata "piandel" kiranya menyebabkan keris ditempatkan melebihi kedudukan sebagai "jimat". Apalagi model pamornya yang bukan sekedar hiasan, juga bermakna penting dalam kehidupan sosial di masyarakat dan memberi sugesti tersendiri bagi pemiliknya.
Untuk menjaga dan menambahi daya ampuh yang disandang pada keris pusaka, maka perawatannya berupa membersihkan atau disebut "menjamasi" perlu dilakukan pada hari atau bulan terntentu, seperti pada bulan Suro menurut penanggalan Jawa. Namun untuk keris Dhapur Sabuk Inten diyakini, hari baik perawatannya pada hari Minggu Kliwon. Sedangkan keris yang dirawat dengan pantangan-pantangan aneh seperti keris buatan Empu Pangeran Sandang. Pantangannya antara lain, tidak boleh diminyaki, dicuci, diganti wrangka, diganti wukirannya dan dilarang dirawat pada hari Senin Legi.
Dengan melihat pada proses pembuatan keris yang tidak sembarangan, pusaka "berisi" tersebut seyogyanya dimiliki oleh orang yang memahami cara perawatannya. Karena memiliki keris pusaka bukan sekedar menyimpan barang antik biasa. Untuk memiliki keris pusaka hendaknya berkonsultasi dulu pada yang ahli dan mendalami betul soal perkerisan, untuk bisa membatu menentukan keaslian keris hasil karya Empu sakti atau bukan buatan Empu. *****
(Artikel ini pernah dimuat penulis di Harian "BERITA BUANA", Sabtu Kliwon, 13 April 1983)
(Artikel ini pernah dimuat penulis di Harian "BERITA BUANA", Sabtu Kliwon, 13 April 1983)