KERIS PUSAKA,ATAU DHUWUNG ATAU CURIGO, senantiasa tetap terasa menarik untuk dipaparkan, dibahas berulang-ulang hingga diterbitkan dalam bentuk buku, baik ditulis oleh bangsa sendiri maupun asing, juga dibuatkan video dengan narasi menarik. Menurut istilah sekarang, "tidak ada matinya", tidak lekang oleh kemajuan jaman. Tidak heran ada perkumpulan dan kolektor penggemar keris. Lebih lagi bila pembicaraan dikaitkan dengan aspek kegaiban dan mistis yang dikandung dari sebilah keris. Unsur gaib itu sesungguhnya, kareana sengaja "diisi" roh (qadam, bisa juga dari bangsa jin) oleh Empu pembuatnya ketika dalam proses penyempurnaan untuk menjadi keris pusaka.
Pertimbangan adanya segi mahluk halus pada pusaka bebentuk senjata tajam - sama halnya dengan tombak dan pedang - menjadi sebab dimasukkan dalam istilah Tosan Aji atau besi bertuah. Lalu perawatannya juga harus istimewa. Perawatan istimewa dimaksud guna menjaga keawetan wilahan keris, di samping juga meneruskan anggapan untuk memelihara kharisma gaib yang terkandung pada pusaka. Namun qadam yang "dimasukkan" oleh Empu pembuatnya ada yang bertabiat "memilih" terhadap calon pemiliknya.
Dalam pada itu mengenai kapan kelahiran keris di tanah Jawa nampaknya masih simpang ssiur. Ada yang meperkirakan mulai dikenal sesudah abad ke 10 (Drs. Hamzuri, 1973). Lalu ada yang menduga keris telah dikenal sejak 1342 (Garret and Bronwen Solyom, 1978).. Kemudian pada sekitar abad 14 ketika kerajaan Mojopahit mencapai puncak kejayaan, keris menyebar ke luar pula Jawa seperti Madura, Bali, beberapa daerah di Sumatera dan Sulawesi. Malahan penyebaran keris sampai pula ke Malaysia dan Philipina sebelah selatan. Akan tetapi pendapat lain menyatakan, bahwa keris sebenarnya sudah muncul sebelum itu, yakni mulai sekitar tahun 230-an dan terkenal dengan ahli pembuat keris Empu Ramadi (Ramayadi) (Moebirman, Keris and Other Weapons of Indonesia, 1973). Ketika belum diketahui persis soal kelahiran keris, akibat belum diketemukannya bukti-bukti kuat, ternyata banyak dijumpai berbagai versi cerita tutur dan tertulis yang sarat dengan tema irasionil berbumbu keunikan.
KEUNGGULAN EMPU
Dari mengamati keris-keris karya Empu dapat menunjukkan bahwa pembuatnya memiliki ketrampilan metalurgi sekaligus merupakan seorang seniman dan ahli kebatinan. Buah karya mereka rata-rata amat bermutu baik terlihat dari teknik penguasaan logam dan dalam cita rasa membentuk wilahan beserta bagian-bagiannya, seperti pamor dan dhapur keris. Kemudian disearasikan dengan wrangka dan pendhoknya.
Kemampuan Empu "mengisi" keris dengan roh atau arwah (Khadam) diperkirakan mulai pra Kerajaan Mojopahit. Kemudian kemampuan menaklukkan dan "mengisi" mahluk halus ke wilahan keris (juga tombak) berlanjut sampai ke jaman Kesultanan Mataram Islam dan kerajaan pecahan setelah Mataram.
Seni memperindah wilahan keris kiranya banyak dijumpai di masa Mataram, berbeda dengan karya di masa Mojopahit yang lebih menekankan pada mutu tuah keris. Untuk itu seorang Empu selain mumpuni dalam teknik pencampuran logam, juga mesti mengolah bathin agar memiliki daya unggul menjinakkan bahkan menguasai mahluk halus, lalu disemayamkan di wilahan keris. Sudah tentu untuk memelihara daya unggul dan kepekaan atas mahluk halus, Empu mesti menjalankan beberapa pantangan, lelaku puasa dan meditasi. Mahluk halus yang berhasil ditaklukkan Empu lalu "diprogram" biasanya sesuai makna dari motif pamor. Perihal pamor di samping merupakan hiasan pada wilahan keris, juga bermakna khasiat "isi" keris. Biasanya bisa atas keinginan pemesan atau berdasarkan "wisik" alias petunjuk gaib.
"MEMILIH"
Wilahan keris agar tampak sangar, maka di dhapurnya ada yang dibuatkan rupa singa, mahluk khayalan seperti naga dan lainnya. Tetapi keangkeran sebuah keris pusaka tergantung pada tabiat, derajat atau kharisma mahluk halus yang menghuni di dalamnya. Bila watak dan derajatnya tergolong menengah ke bawaah, kebanyakan akan bersikap pasif dan tidak bisa membuat tanda-tanda ingin pindah meskipun tidak sesuai dengan tabiat pemiliknya. Sedangkan yang termasuk kelas menegah ke atas atau tingkat tinggi biasanya bisa aktif "memilih", bahkan menentukan bakal pemegangnya.
Adapun maksud ikut aktif menentukan pilihan dapat disebabkan antara lain, untuk memilih orang yang coccok, atau akibat tidak betah lagi dengan pemilik keris lama. Hal ini bisa kareana keris tidak dirawat semestinya, pemiliknya kurang suka, pemiliknya tidak aktif menjalankan lelaku untuk memelihara kepekaan bathin. Pada keadaan begitu Pusaka walaupun masih berada di tangan pemilik, tuahnya akan pasif.. Isi pusaka yang tidak lagi cocok dengan pemiliknya bisa menempuh cara halus seperti permohonan ganti pemegang liwat mimpi.
Namun ada yang bersikap ekstrim seperti menteror rumah tangga pemilik berupa membikin keributan tanpa pemiliknya menyadari. Selain itu ada yang membikin sakit salah satu penghuni rumah, atau sering menggedor-gedor tempat penyimpanan pusaka atau menggerak-gerkkan warangkanya terus menerus, atau menampakkan wujudnya ke anggota keluarga. Isi keris bertabiat galak akan merasuki salah satu anggota keluarga, hingga terjadi kasus kerasukan "isi" pusaka.
KONSULTASI
"Isi" keris oleh Empu pembuatnya sudah diwejang untuk mendampingi pemiliknya tidaklah bisa dianggap sekedar gaman. Karenanya untuk memahami sebilah keris "berisi" seyogyanya melakukan konsultasi kepada pihak yang mengerti masalah karakter "isi" pusaka. Mencocokkan liwat pamor keris pusaka berdasarkan primbon atau petangan dapat menyesatkan, selain mengarah kepada tahayul. Selanjutnya pusaka "berisi" itu tidak bisa digolongkan sekedar seperti souvenir pajangan.
Sementara itu dalam upaya mencari konsultan wesi aji, hendaknya menghindari menggunakan jasa orang yang hanya pintar memperlihatkan semacam "show" secara kekuatan sihir, berupa mendirikan keris pada pucukannya. Karena untuk atraksi seperti itu, pisau dapur yang "kosong" juga bisa didirikan dengan taktik serupa. Sedangkan mereka belum tentu paham masalah perkerisan.
Kendati begitu, seorang pemilik keris setelah mengetahui "isi" pusakanya cocok dengan dirinya, segi yang tertuntut adalah cukup merawat secara tepat untuk menjaga keutuhannya demi memelihara keawetan wilahannya. Sejalan dengan itu, tetap berusaha menghindari langkah yang dapat menjurus kepada menjimatkan pusaka (fetitisme). Antara lain menghidangkan sesaji (sajen), "dimandikan" dengan air kembang dan diasapi kemenyan atau dupa tanpa dibersihkan lagi dengan teknik yang benar. Mengingat tindakan tersebut selain keliru, juga bisa menimbukan karat yang pada gilirannya merusak wilahan keris. ***
(Tulisan ini pernah dimuat di koran harian BERITA BUANA, Jumat Kliwon, 30 Oktober 1987)
Caatatan: artikel disajikan ulang dengan sedikit revisi dari penulis.