Minggu, 28 April 2013

KERUSUHAN 13 MEI 1998: FIRASAT DAN KENYATAAN

    Jauh hari sebelum terjadi kerusuhan pada 13 Mei 1998, aku mendapatkan "rasa" / "gambaran"/firasat/tanda-tanda (petunjuk  Illahi) atau apapun istilah yang tepat, beberapa kali yaitu antara pertengahan dan akhir tahun 1995 sampai kemudian juga memasuki tahun 1996, bahwa kelak Presiden Soeharto akan jatuh. Pada 1996 itu di "gambarkan" kejatuhannya diawali kejadian berupa gerakan bakar-membakar. Namun hal ini tidak berani aku sampaikan kepada banyak orang, kecuali kepada keluargaku saja bercerita karena khawatir bila didengar orang lain dianggap sebarkan fitnah atau kebencian kepada Kepala Negara. Mengenai "gambaran" itu pun istriku tidak percaya, dia menganggap Soeharto sudah terlalu kuat, "tidak mungkin turun" katanya, apalagi banyak pendukungnya, termasuk ABRI dibelakangnya. Malahan di tahun 1997 sewaktu diadakan Pemilu terbukti Soeharto terpilih kembali untuk berkuasa. Pada tahun setelah Soeharto dinyatakan menang, aku secara iseng bicarakan di lingkungan keluarga, mengapa orang ini masih mau berkuasa lagi? apakah terpengaruh dorongan para penjilatnya atau dukunnya tidak dapat "wisik" tentang nasib Soeharto? Atau memang Soeharto berambisi berkuasa terus lalu tidak memiliki kepekaan bathin lagi dan akhirnya tidak dapat membaca "gelagat dari langit"? Istriku dengan santai menjawab, "habis enak sih jadi Presiden, siapa yang nggak ingin terus naik".

   Di awal tahun 1996, di kantor tempat aku bekerja dalam rangkah peringatan hari kelahiran kantor, dijadwalkan ada acara silaturahmi dengan Kepala Negara. Tetapi ketika itu, aku seperti ditinggal dan tidak diajak menghadap beliau di istana, karena ada segelintir orang yang merasa sok kuasa memang sentimen padaku.dan ingin berbangga sendiri bersalaman dengan seorang Presiden. Belum tiba hari pertemuan ada beberapa teman menanyakan sebabnya aku tidak diikutsertakan, padahal dari awal kegiatan aku sudah terlibat banyak membantu untuk menyukseskan acara. Namun aku jawab, biar saja "saya tidak marah, semua memang karena sudah Tuhan atur", karena yang pergi ke istana dan bersalaman dengan Presiden, aku gambarkan (ibaratkan), sama situasinya ketika di masa Presiden Soekarno berkuasa. Mereka yang bangga menyimpan gambar Presiden, tetapi begitu jatuh mereka akan cepat-cepat menyimpan atau menyembunyikan fotonya. Beberapa hari setelah terbukti Soeharto menyatakan "lengser" dari Istana (21 Mei 1998), di kantor ada teman yang ingat ucapanku dulu, katanya "benar kata lu dulu, Pak Harto jatuh dan yang berfoto ketika salaman (dengan Pak harto) pada ngumpetin fotonya"

   Kesempatan ikut pergi ke Istana Presiden baru terjadi pada awal Februari 1998, karena orang yang sentimen padaku supaya tidak ikut, segan sendiri akibat ia dipertanyakan keadaanku oleh beberapa pengurus teras kantor tempat aku bekerja. Anehnya dalam kesempatan ini Soeharto tidak ingin bersalaman dengan para undangan yang hadir di Istana, dia hanya mau bersalaman dengan ketua rombongan. Pas mantaplah bagiku kalau begitu, aku tidak punya foto bersalaman dengan Soeharto. Apalagi foto itu kalau mau dimiliki harus ditebus mahal dari juru foto Istana, karena rombongan tamu yang masuk ke Istana tidak diperkenankan membawa tustel atau kamera.

****

   Sekilas muasal diriku. Aku merupakan canggah dari Eyang Raden Adipati Ronodikoro (dari pihak Bapak) yang semasa hidupnya menjadi prajurit Pangeran Dipenogoro. Setelah Pangeran Dipenogoro ditangkap Belanda di Magelang, Eyangku melarikan diri dan bersembunyi di hutan Notog, sekarang desa Notog, Patik Raja, Purwokerto. Menurut ceritanya yang disampaikan turun-temurun, banyak temannya yang ditangkap dan langsung ditembak Belanda. Mereka yang lari dengan menunggang kuda, kudanyapun ikut dibunuh tentara Belanda. Eyangku lari bersama adiknya, lalu dengan menyamar sebagai penjual singkong dan pisang pergi naik kereta api ke arah Barat. 

   Tak lama setelah itu Eyangku berpisah dengan adiknya,  Eyang melanjutkan hdiup di daerah Banyumas. Selama hidup di tempat baru Eyang melanjutkan aksi sendiri dibantu beberapa temannya, dia mencuri senjata Belanda. Caranya Eyang  berdua atau bertiga temannya menyergap rombongan tentara Belanda yang paling belakang, lalu dicekik lehernya dan dipukuli oleh teman-temannya. Perlengkapan serdadu Belanda yang utama diambil seperti sepatu dan bedil (senapan). Senjata ini  digunakan untuk menembaki konvoi Belanda secara sembunyi-sembunyi (istilah sekarang sniper). Namun karena kegiatan Eyang itu juga setelah menikah dengan wanita desa (Eyang Putri) yang merupakan warga setempat, dia jarang pulanng ke rumah, sehingga anak-anaknya tidak banyak mengenal dirinya. Menurut Eyang, yang juga ditakuti pada saat itu adalah "Londo ireng", maksudnya sesama orang Jawa yang bisa sewaktu-waktu mencari muka dan pujian ke orang Belanda Bule, lalu menjadi berkhianat dan membeberkan jati dirinya.

   Semasa ikut bergerilya dengan Pangeran Dipenogoro, Eyang bersama yang lainnya diajarkan menggunakan senjata dan cara menembak. Selama sembunyi di Goa Selarong, Kuda Pangeran Dipenogoro yang berwarna putih diserahkan kepada Eyang untuk dirawat dan dicarikan rumput segar untuk pakan kudanya. Sedangkan kuda tunggangan Sentot Prawirodirjo berwarna cokelat. Eyang di waktu hidupnya juga suka menjalankan puasa weton.

****

   Ketika para mahasiswa gencar melakukan aksi demo pada Mei 1998, aku sudah mengingatkan istriku untuk berhati-hati di jalan dan agar segera kabur kalau ada aksi konyol dari pendemo ataupun tindakan brutal aparat. Pada 12 Mei 1998, sempat aku meminta istriku agar tidak usah pergi ke kampus. Dia mengajar sebagai dosen di Trisakti. Tapi dia bersikeras mau tetap berangkat, dan menganggap aku menakut-nakuti saja dan memalukan kalau tidak terbukti. Akhirnya aku juga merasa tidak enak hati sendiri, barangkali gambaran yang aku terima tentang akan ada kejadian mengerikan tidak mungkin ada dan tidak terbukti. Jauh hari sebelum puncak kerusuhan aku sebenarnya sudah mendapatkan feeling gambaran akan terjadi kerusuhan ketika sedang berdoa kepada Tuhan. Hari-hari berikut ketika seperti biasa rutin berdoa, muncul lagi "gambaran" tentang akan adanya kerusuhan , di sini aku sempat bertanya dalam hati, di mana kerusuhan itu? seketika dapat jawaban: di telinga bathin, "di seluruh Indonesia". Di saat itu aku jadi berpikir, apa betul "penjelasan" itu mengingat ABRI dan pendukung Soeharto masih kuat dan setia. Apalagi Soeharto punya banyak pendamping spiritual, masa tidak ada yang waspada dan mengingatkan junjungannya ???

   Menjelang kepergian ke kampus, aku masih meminta istriku membatalkan niat pergi ke sana, tapi karena dia memaksa berangkat aku cuma pesan lagi kalau betul ada gejalah rusuh di sana dan di jalan suasana "tidak baik" langsung kabur saja. Dia pun setuju. Menjelang jam dua belas siang, istriku langsung pulanng ke rumah. Begitu sampai di rumah, pada jam dua siang dia dapat kabar dari kawannya, ada penembakan oleh aparat dengan korban sejumlah mahasiswa Trisakti. Dengan terbukti ada korban jatuh di Trisakti, malamnya aku minta istriku agar besok tidak usah berangkat ke Kampus karena diperkirakan masih ada kondisi kacau.

   Pada hari yang sama, ketika aku berada di kantor semua yang mendengar tentang aksi brutal aparat (ABRI dan Polisi) di Trisakti menganggap tidak akan sampai merambat ke kejadian besar lain dan yang biasa berdemo akan ciut hatinya lalu bisa menghentikan niatnya meminta Soeharto lengser. Kecuali aku, yang "merasa" dan yakin akan ada gelombang kerusuhan besar melanda di kota-kota di Indonesia seperti "gambaran" yang pernah aku terima. Selepas dari kantor, aku tidak langsung pulang melainkan berjalan menyusuri jalan Kebon Sirih ke arah perampatan jalan Thamrin. Di sana aku ingin melihat barangkali benar setidaknya akan ada suatu gambaran faktual atau tanda-tanda tertentu bahwa besok terjadi kerusuhan. Aku duduk di tepi jalan yang biasa digunakan orang menunggu bis umum, tampak suasana biasa saja  malam itu juga di lanngit bintang bersinar seperti sediakala, hanya ada sedikit awan tipis bergerak di angkasa.

   Ada sekitar setengah jam duduk sendiri, tiba-tiba ada pengendara motor bertanya, "Pak, di mana jalan Thamrin?" karena aku duduk di posisi jalan Kebon Sirih dekat kantor BI, maka aku tunjukkan, "itu di depan sudah jalan Thamrin". Setelah mengucap terima kasih, langsung ia tancap gas ke arah jalan dimasksud. Dalam hati aku bertanya-tanya, "masa sebagai orang Jakarta tidak tahu jalan Thamrin?"  karna jl. Thamrin termasuk jaan protokol. Beberapa menit setelah dia pergi ada lagi orang-orang yang menanyakan nama-nama jalan lain ke pedagang asongan di perampatan jalan. Mereka rata-rata tampak terburu-buru dan seperti belum tahu nama-nama tempat di Ibukota. Akhirnya begitu bis kota jurusan Tanah Abang - Tanjung Periuk muncul, aku naik dan pulang ke rumah. Sebelumnya bis jurusan yang sama telah aku abaikan, karena ingin merasakan suasana malam menjelang kerushan di pusat Jakarta esoknya.

   Pagi-pagi sekali tidak seperti biasa aku bangun lebih awal dan tidak seperti biasanya pula menghidupkan TV, berita pagi yang muncul di RCTI juga di SCTV adalah soal aksi demo mahasiswa Trisakti dan penembakan brutal oleh aparat yang memakan korban jiwa. Istriku yang sudah setuju tidak pergi ke kampus, hari itu malahan berencana pergi ke kantor Walikota Jakarta Utara untuk mengurus sertifikat rumah. Aku sudah melarangnya bepergian ke luar rumah dan aku katakan, "masih ada hari lain untuk mengurus, tidak usah maksa sekarang". Pada malam hari menjelang rusuh aku sempat meminta beberapa saudaraku untuk tidak ke luar rumah. Mereka semua berkeras tetap harus pergi ke luar seperti biasa dan mengatakan tidak ada apa-apa serta tidak mungkin terjadi rusuh. Seorang adikku malah menganggap aku aneh sendiri, dan anaknya harus tetap ke sekolah karena mau ada ulangan. Kepada iparku yang buka praktek dokter di Cengkareng, Daan mogot, aku minta istriku melarangnya pergi praktek, tetapi dijawab bahwa tidak mungkin ada kerusuhan apalagi sampai di pinggiran  Ibukota.

   Menjelang jam delapan liwat, ketika tidak mendapat "tanda-tanda baru", aku malahan juga berpikir tidak mungkin terjadi kerusuhan. Aku pun bersiap berangkat ke kantor dan pada waktu aku akan mengenakan celana panjang pantalon terdengar ucapan di telinga bathinku, "Jangan pergi". Setengah percaya dan agak ragu-ragu, aku lepas celana panjang kerja dan salin memakai baju rumah, sambil berpikir kalau petunjuk itu cuma godaan besok masuk kerja mau buat alasan apa? Karena siaran TV di masa itu masih sering melakukan siaran tunda, maka aku menghidupkan radio di gelombang radio Sonora yang biasanya menyiarkan  langsung keadaan jalanan di Ibukta Jakarta. Setelah acara musik berlalu, diisi siaran iklan lalu musik lagi dan tiba-tiba musiik dihentikan, karena masuk laporan langsung dari kawasan Cengkareng tentang serombongan orang yang menaiki beberapa truk bak terbuka tiga perempat, tidak diketahui asal muasalnya, turun kemudian menyerbu pertokoan, dan ruko-ruko, lalu mengeluarkan isi toko dan mulai aksi membakar-bakar. Polisi yang berjaga di sekitar perampatan lampu lalu lintas Cengkareng yang semula mencegah, karena kalah jumlah personil diberitakan mengundurkan diri. Dikabarkan pula oleh penyiar radio, beberapa perusuh melambai-lambaikan tangan ke arah polisi yang kabur, tak lama kemudian penyiar radio di lapangan pun menyatakan bahwa dia juga harus cepat menngundurkan diri dari lokasi tersebut karena massa sudah mulai beringas.

   Aku ingat dan khawatir keselamatan istriku yang masih di Kantor Walikota, akhirnya  hanya  berdoa di bathin agar Tuhan melindunginya. Sulit menghubungi, karena hand phone masih barang langka di masa itu. Anehnya telepon rumah tidak bisa digunakan ke luar, seperti lumpuh mendadak. Adikku yang tinggal di Cibinong beruntung bisa menelpon ke rumahku, heran!!! Dia juga mengabarkan tentang kerusuhan yang sudah sampai ke wilayah Glodok dan tempat tinggal mertuanya di jalan Pangeran Jayakarta. Aku minta dia menjadi penghubung ke saudara-saudara yang lain, karena semua telepon rumah di Jakarta tidak dapat digunakan ke luar, tapi masih bisa menerima telepon dari luar Jakarta.

   Sepulang istriku dari kantor Walikota, aku bersyukur kepada Tuhan bahwa dia selamat. Diceritakan, dia disuruh pulang oleh karyawan kantor dan mereka semua bergegas masuk ke toilet dan mengganti baju dinasnya dengan pakaian sehari-hari. Semula dia merasa heran, tetapi akhirnya ikut kabur sebab dari kantor tersebut terlihat di seberang jalan raya Yos Sudarso, seperti kantor bank Lippo sudah dihancurkan massa, begitu juga pertokoan dan Gedung Ramayana mulai dirusak massa sampai dijarah Hanya beruntung rata-rata tidak sempat dibakar, karena serombongan pasukan angkatan laut dan Marinir dari Kodamar, Tanjung Periuk datang dan membubarkan massa lalu bersama penduduk setempat menjaga lingkungan di situ. Angkatan laut juga menjaga sampai ke arah Depo Pertamina Plumpang dan beberapa hari kemudian dibantu prajurit dari Kodim.

   Menurut istriku, ketika kerusuhan itu dia terpaksa jalan kaki dari kantor Walikota Jakarta Utara sampai ke Pasar Ular Plumpang, karena sudah tidak ada angkutan umum seperti bis dan Metrro Mini. Begitu sampai di depan Pasar Ular terpaksa naik ojek motor ke rumah dan ada seorang Bapak yang tanpa menawar langsung buru-buru naik ojek. Menjelang tengah hari istriku tiba di rumah. Sewaktu ketemu teman pada hari ke tiga setelah kerusuhan, katanya sesudah liwat  jam dua siang semua orang yang melintas di Plumpang, dirampok oleh preman dan begundal jalanan yang memanfaatkan situasi kacau. Menjelang sore Ketua RT ditemani beberapa tetangga mengajak aku  bersama warga melakukan siskamling, untuk turut mengamankan komplek tempat kami tinggal. Tetapi ajakan baik itu tidak aku ikuti, karena aku sudah mendapat "petunjuk", bahwa komplek tempat aku tinggal aman dari serangan perusuh. Ini memang terbukti aman karena Tuhan Allah.

   Malam hari saat tidur nyenyak pada sekitar jam dua dini hari, adikku yang di Cibinong menelpon,. dalam keadaan masih mengantuk aku terima telepon itu. Adikku minta bantuan doa, agar semua anaknya yang masih berada di Jakarta pada jam itu juga bisa dibawa mengunngsi ke Cibinong dengan selamat. Alhamdullilah mereka selamat sampai rumah di Cibinong tanpa ada cegatan dari gerombolan, padahal meliwati sepanjang jalan yang sudah sepi kendaraan, hanya penuh bara api sisa aksi bakar-bakar kendaraan dan perangkat lainnya termasuk sarana lalu lintas yang dirusak. Sepanjang jalan menurut adikku tidak ada satupun petugas ataupun aparat keamanan, tetapi sejumlah orang yang masih lalu lalang di kegelapan tanpa penerangan jalan dengan membawa barang jarahan meninggalkan bangunan yang hancur membara atau hangus terbakar.

   Esoknya sekitar jam sepuluh pagi, aku  ditelpon teman agar pada hari itu tidak usah pergi ke kantor sampai tiga hari ke depan yang diperkirakan kerusuhan sudah mereda dan situasi normal. Tetangga yang tidak mempunyai stok simpanan makanan mulai kesulitan mendapatkan sayuran untuk lauk. Sore harinya para tetangga saling bercerita tentang keadaan mereka ketika kerusuhan berkecamuk di Ibukota. Banyak yang terpaksa menginap di kantor, tidak bernai pulang untuk menghindar dihadang perusuh atau takut dibakar mobilnya. Mereka yang bekerja di kantor pemerintah, akibat sebagian perusuh memandang pegawai negeri musuh mereka, maka bis antar jemput yang sudah ke luar kantor terpaksa diputar balik kembali masuk ke halaman kantor..

   Demikian sekelumit tentang suatu keanehan berupa "gambaran" (firasat jelas) dari Tuhan Yang Maha Tahu yang aku terima dan akhirnya menjadi fakta kejadian yaitu, berupa puncak peristiwa  kerusuhan Mei 1998, disusul berikutnya hari-hari menjelang Presiden Soeharto terbukti lengser keprabon. ****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar