Minggu, 14 April 2013

SANTET dalam RUU KUHP

 Oleh: Pet Parmono
Akhir-akhir ini di media massa ramai memberitakan proses memasukkan rumusan "santet" dalam konsep Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, termasuk mengangkat tanggapan dari berbagai pihak terutama kalangan hukum. Langkah memasukkan rumusan itu oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), antara lain dimaksudkan untuk mengkriminalisasi delik baru yang sebelumnya tidak dicantumkan dalam KUHP dan sebagai "pengaman" yang dibutuhkan khususnya bagi masyarakat pedesaan. Di lain pihak, upaya itu tentu saja dirasa aneh dan mengejutkan insan yang terbiasa berpikir rasional serta hidup di alam modern. Namun upaya untuk meng-goal-kan santet ke dalam KUHP akan membuat dukun santet pelanggannya merasa bangga pada keunggulan santet.

Santet alias "teluh" merupakan tindakan non fisik (batiniah) dan bersifat aktif menyerang orang lain dengan maksud menimbulkan kerugian atau kemalanngan berupa penyakit, bahkan kematian. Cara "penyerangan" mengandalkan kekuatan gaib tergolong "black magic". Tingkat kerugian dari aksi penyerangan terhadap oranng lain berbeda-beda, sesuai tingkat keampuhan ilmunya, dan hasil akhirnya biasanya sejalan dengan maksud serta keinginan yang telah "diprogram" pihak pelaku atau pemesan.

Akibat dari perbuatan oknum yang memiliki ilmu itu tampaknya kriminogen, namun unsur "kekuatan" meneluh itu sendiri yang dimiliki dan menjadi "sarana" oknum dukun tidaklah dapat dideteksi dengan bantuan peralatan canggih, apalagi untuk bisa diangkat sebagai "alat bukti". Dengan demikian jelas, seandainya seorang tersangka yang dianggap hobi ber-santet ria, dakwaannya akan terkesan subyektif. Kecuali untuk memperlancar jalannya acara persidangan digunakan jasa parapsikolog (occultist) sebagai konsultan dan seyogyanya dari golongan "white magic".

Sedangkan alat bantu (media) fisik yang digunakan tukang teluh bukanlah hal yang sangat istimewa, karena peralatan mereka seperti anglo, menyan, kembang aneka warna atau paso banyak dijual dipasar tradisionil. Namun barang-barang itu tidaklah dapat untuk menunjukkan ciri khas perkakas tukang santet, karena peralatan semacam itu juga digunakan oleh tukanng ramal (nujum). Padahal segi yang membedakan terletak pada "aku yakin" yang diandalkan masing-masing pemilik ilmu gaib (magic), termasuk pada aspek amalannya dan di dalam menggunakan doa-doa (mantera). Aspek ini hanya dapat "disingkap dan dibuktikan" dengan cara khusus pula oleh orang memiliki kepekaan batiniah.

Perkembangannya

Di bumi Nusantara, santet pada masing-masing daerah mendapat julukan berbeda. Kehadiran ilmu hitam ini sudah sangat tua. Ada yang mengira telah lama dipraktekkan sejak masa kerajaan Singosari di Jawa Timur, seperti dalam cerita Calon Arang Tetapi ada juga yang menduga, santet sudah lama lahir sebelum berdirinya kerajaan itu. Hingga sekarang masih terdapat penerus ilmu tersebut, walaupun sudah mengalami "modifikasi" dari gernerasi sebelumnya, seperti mengutip ayat-ayat tertentu dari sebuah kepercayaan agama dalam doa/mantranya.

Dengan masuk dan menyebarnya agama baru ke bumi nusantara yang sangat menekankan pada aspek keimanan dan ketaqwaan kepada yang Illahi, eksistensi juru santet tidak serta merta terkikis binasa dan makin terpojok. Namun sampai kini di daerah tertentu masih bercokol adanya "wilayah kantong" tempat praktek tukang santet, baik di kota besar maupun pedesaan.

Lagenda tentang ilmu gaib ini menyangkut kisah "kedahsyatannya" untuk mencelakakan sesama manusia dari jauh (telepatis) terlanjur berurat berakar . Tidaklah aneh kala masyarakat terutama di pedesaan mudah trmakan isu santet dan dianggap sebagai "momok", karena itu apabila ada salah seorang keluarganya atau warga desanya sakit bahkan meninggal - sekalipun secara wajar - masyarakat tetap meduga kejadian itu akibat diteluh. Setelah itu biasanya dicari seorang warga yang dianggap patas dijadikan sebagai "kambing hitam" tukang telah untuk "dihakimi" sendiri, apalagi bila aparat keamanan tidak mampu cepat menangani kasus demikian.Rumor jatuhnya korban "akibat" keganasan peneluh, sebenarnya juga menantang tenaga medis dengan kecanggihan perlengkapan laboratoris untuk membuktikan kebenaran korban yang diisukan sakit disantet.

"Keampuhan" telu/santet sebagai produk ilmu hitam yang sering harus diraih dengan berat seperti dengan melakukan puasa/mati raga oleh penuntutnya dalam rangka menempa "power" bathin agar dapat berkolaborasi dengan mahluk astral golongan setan/jin. Kedigdayaan yang diperoleh dianggap sesuai juga dengan watak masyarakat di sini yang ingin "membereskan" masalah secara halus mulus, tanpa sosok fisik harus hadir dihadapan lawannya. Tetapi ada pula yang berpendapat, menyantet bukan merupakan tindakan "gentleman".

Namun demikian, "pasien" yang berhubungan dengan juru santet/teluh tampaknya terbagi dua. Yaitu, orang yang sudah mengetahui  jelas kemampuan sang dukun dan yang belum mengatahui jenis ilmunya si dukun. Di sini pasien yang maksudnya mau berobat, tetapi malahan disugestikan bahwa sakitnya akibat "dikerjai" si Anu, lalu ditawari untuk "membalas" menyantet si Anu. Begitu juga bagi orang yang ingin menuntut belajar ilmu ghoib, terbagi juga dalam yang sengaja berguru ilmu hitam alias santet dan yang tidak sengaja karena tidak tahu jenis ilmu calon gurunya. Biasanya seorang guru santet  hanya tersamar membeberkan khasiat ilmunya salain menjelaskan persyaratan kepada sang murid ketika berguru. Bila sudah dianggap "lulus", seorang murid yang pada dasarnya tidak memiliki watak kejam dan beringas, di  kemudian hari akan berangsur-angsur "membuang" ilmunya. Sebaliknya seorang murid yang dasarnya berbakat kejam, terhadap gurunya pun akan "dikerjai", untuk mencoba keampuhan ilmunya atau agar tidak ada persaingan. Karenanya, seorang guru yang waspada tidak akan tergesa-gesa menurunkan seluruh rahasia ilmunya, sampai ia mengetahui tabiat dan kesetiaan muridnya.

Ciri Umum Teluh/Santet

Aspek yang lazim dari ilmu kuno warisan jaman "baheula" dalam hal "menngamalkan" kesaktiannya umumnya memilih pada malam hari. Begitu juga untuk tujuan "pembaptisan" calon murid akan ditentukan pada malam yang dianggap keramat, seperti malam Jumat Kliwon.

Dipilih malam hari, karena suasana tenang dan sepi atau selepas tenngah malam hingga menjelang subuh dianggap membantu memusatkan konsentrasi dan dalam hal mengerahkan mahluk halus sekutunya. Selain itu, untuk memudahkan aksi khas "penggempuran" secara telepatis kepada sasaran pilihannya yang dianggap saat itu sedang asyik terlena diperaduannya.

Korban yang ditargetkan direnggut nyawanya oleh setan kiriman tukang santet, biasanya di atas atap rumahnya atau halaman rumahnya akan terdengar seperti suara ledakan mercon atau ban gembes. lalu sang korban akan merasa meriding, atau menggigil atau rasa tercekik tiba-tiba. Tetapi korban yang hanya diupayakan dibikin sakit, akan merasakan tidak enak di bagian tubuh tertentu dan mendadak seperti demam.

Keadaan si korban kiranya nihil diobati secara medis, seandainya juru santet/telh yang berkolaborasi dengan jin atau roh tergolong setan bertemperamen galak, maka hasilnya kerjanya pun ganas. Terbilang dari saat itu juga tau dalam hitungan hari, jika korban tidak tertolong oleh ahli kebatinan yang berkualitas, korban bisa meninggal tanpa dikatahui sebab-sebabnya dengan pasti oleh keluarganya.

Taktik lain menghantam seseorang secara telepatis oleh juru tenung/santet sebenarnya masih banyak ragamnya, antara lain dengan cara menusuk-nusuk boneka yang diimajinasikan tubuh korbannya atau menerawang melalui foto korbannya. Cara lain yang tingkatannya tergolong rendah adalah dengan mengirim benda-benda yang telah "diisi" khasiat mistik atau berupa media makanan yang sudah dirajah atau dimantera untuk dikirim ke korbannya melalui sang pasien sendiri atau perantara kurir.

Tantangan bagi Pemuka Agama

Dalam pada itu, walaupun sekarang ajaran agama dipandang sudah berkembang baik tetapi cara "membunuh" seperti santet tersebut masih sering terdengar termasuk di kota-kota besar. Namun jika pada suatu hari maut menimpa tepat pada korbannya akibat santet, hasilnya akan dinikmati dan merupakan kebanggan tersendiri bagi juru teluh/santet. Mereka ini seringkali tetap tercatat sebagai seorang warga terhormat di wilayah tempat tinggalnya dan tampak seperti "rajin" melaksanakan kewajiban agama dan sosial bermasyarakat.

Di lain pihak sesungguhnya keberadaan juru santet/teluh merupakan tantangan tersndiri bagi para pemuka dan tokoh agama, terutama dalam segi kemampuan membimbing dan menguatkan iman umatnya agar "kebal" dari serangan santet sekaligus menjadi anti kepada juru santet/teluh. Karena santet sebagai hasil kerja ilmu hitam yang kotor bantuan setan tidak akan mempan menghantam orang yang beriman kuat dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan tidak akan membiarkan orang yang beriman kepadaNya mati sia-sia di tangan iblis.

Peranan pemuka dan tokoh agama dengan demikian lebih cocok dan ampuh, ketimbang menjangkau tukang santet dengan perangkat hukum. Sehingga regenerasi di kalangan dunia ilmu hitam dapat diminimalisir dan ilmu itu sendiri akan menjadi langka. Selain itu pemuka agama juga harus berperan mengingatkan kaum muda agar lebih gandrung untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang jelas lebih berguna bagi kehidupannya di masa depan.****


(tulisan ini pernah dimuat di Harian Umum "ANGKATAN BERSENJATA", Jumat, 15 Oktober 1993)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar