DIJADIKAN
“JIMAT”
Arwah-arwah
blita yang gentayangan dan dijuluki tuyul atau “anak hambar”, oleh dukun khusus berilmu hitam sengaja diundang dan
dihimpun di bawah kendalinya. Lantas
arwah-arwah ini ini diperjual belikan dengan syarat-syarat lhusus pula
kepada pihak berminat. Tiap-tiap arwah dikenai tariff berbeda, tergantung
tingkat kepandaian dari tuyul yang dijualnya. Makin lihai, akan mahal harganya
dibandingkan dengan tuyul yang kurang lincah. Perbedaan sifat ini memang sesuai
dengan perangai masing-masing anak hambar sewaktu masih hidup selaku manusia.
Bagi setiap
peminat dapat memelihara lebih dari satu tuyul. Tanpa melupakan kesediaan
memenuhi syarta-syarat dari sang dukun dalam pemeliharaannya. Kepada
pihakpemelihara, ada dukun/ juru kunci yang hanya mengistilahkan meminjamkan
tuyul dan harus dipulangkan kembali jika maksud pemakainnya sudah dirasa
berhasil tercapai. Untuk niat memelihara lagi patut membuat “kontrak”
perjanjian baru dengan dukunya. Sudah tentu transaksi yang dilakukan amat
tersembunyidan tanpa promosi besar-besaran. Di pihak lain, tuyul-tuyul yang
asudah merasa terikat kontrak dan terpenuhi syarat imbalan bagi dirinya akan
bersedia saja melaksanakan tugas kewajibannya. Tugas yang diembannya bukan
melaulu menjadi pencuri uang atau perhiasan milik orang lain, guna
dipersembahkan pada “majikannya”. Ini dianggap pekerjaan tuyul kelas rendah.
Melinkan bertugas selaku “jimat” untuk membantu secra halus usaha majikannya,
misalnya di bidang bisnis supaya lancer dan cepat meraih untung. Tapi bagi
dukun golongn hitam papan bawah, tuyul dimanfaatkan di dalam prakteknya saat
menangani permasalahan pasiennya.
Terhadap
pemakai jasa tuyul biasanya tidak
disusul keharusan memenuhi syarta berat, seperti menyediakan korban nyawa hewan atau orang. Sebab dari keunggulan
dukun “menjinakkkan “ tuyul, cuma
memungkinkna si pemelihara menyediakan sajian pada hari-hari yang dianggap
keramat. Umumnya pada malam Selasa Kliwon, berupa membakar kemenyan di rumah
dan lain sebaginya. Selain ia mesti melaksanakan pantangan-pantangan tertentu.
Akan tetapi biarpun syarat yang diwajibkan dalam pemeliharaan tuyul dinyatakan
cukup ringan. Menyangkut upaya memperbudak diri di dalasm persekutuan dengan
tuyul hanya demi materi dan gengsi, oleh sebagian besar masyarakat tetap dicap
sebagai cara kotor yang menyimpang.*** Pernah termuat di Berita Buana JUmat Pahing, 19 Februari
1988.. (TAMAT)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar