Jumat, 28 Desember 2012

TUYUL ALIAS ‘ANAK HAMBAR’ (PART 2)



DIJADIKAN “JIMAT”
Arwah-arwah blita yang gentayangan dan dijuluki tuyul atau “anak hambar”, oleh dukun  khusus berilmu hitam sengaja diundang dan dihimpun di bawah kendalinya. Lantas  arwah-arwah ini ini diperjual belikan dengan syarat-syarat lhusus pula kepada pihak berminat. Tiap-tiap arwah dikenai tariff berbeda, tergantung tingkat kepandaian dari tuyul yang dijualnya. Makin lihai, akan mahal harganya dibandingkan dengan tuyul yang kurang lincah. Perbedaan sifat ini memang sesuai dengan perangai masing-masing anak hambar sewaktu masih hidup selaku manusia.
Bagi setiap peminat dapat memelihara lebih dari satu tuyul. Tanpa melupakan kesediaan memenuhi syarta-syarat dari sang dukun dalam pemeliharaannya. Kepada pihakpemelihara, ada dukun/ juru kunci yang hanya mengistilahkan meminjamkan tuyul dan harus dipulangkan kembali jika maksud pemakainnya sudah dirasa berhasil tercapai. Untuk niat memelihara lagi patut membuat “kontrak” perjanjian baru dengan dukunya. Sudah tentu transaksi yang dilakukan amat tersembunyidan tanpa promosi besar-besaran. Di pihak lain, tuyul-tuyul yang asudah merasa terikat kontrak dan terpenuhi syarat imbalan bagi dirinya akan bersedia saja melaksanakan tugas kewajibannya. Tugas yang diembannya bukan melaulu menjadi pencuri uang atau perhiasan milik orang lain, guna dipersembahkan pada “majikannya”. Ini dianggap pekerjaan tuyul kelas rendah. Melinkan bertugas selaku “jimat” untuk membantu secra halus usaha majikannya, misalnya di bidang bisnis supaya lancer dan cepat meraih untung. Tapi bagi dukun golongn hitam papan bawah, tuyul dimanfaatkan di dalam prakteknya saat menangani permasalahan pasiennya.
Terhadap pemakai jasa tuyul  biasanya tidak disusul keharusan memenuhi syarta berat, seperti menyediakan korban  nyawa hewan atau orang. Sebab dari keunggulan dukun “menjinakkkan “ tuyul,  cuma memungkinkna si pemelihara menyediakan sajian pada hari-hari yang dianggap keramat. Umumnya pada malam Selasa Kliwon, berupa membakar kemenyan di rumah dan lain sebaginya. Selain ia mesti melaksanakan pantangan-pantangan tertentu. Akan tetapi biarpun syarat yang diwajibkan dalam pemeliharaan tuyul dinyatakan cukup ringan. Menyangkut upaya memperbudak diri di dalasm persekutuan dengan tuyul hanya demi materi dan gengsi, oleh sebagian besar masyarakat tetap dicap sebagai cara kotor yang menyimpang.*** Pernah termuat di Berita Buana JUmat Pahing, 19 Februari 1988.. (TAMAT)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar