Jumat, 28 Desember 2012

TUYUL ALIAS ‘ANAK HAMBAR’ (PART 1)



TUYUL ALIAS ‘ANAK HAMBAR’

Pergunjingan tentang tuyul atau “anak hambar” sampai sekarang masih dapat terasa hangat, jika mencuat di sela-sela pembicaraan masyarakat di pedesaan maupun di kota-kota besar. Lebih-lebih kalau dikaitkan dengan seorang anggota masyarakat yang terlihat mendadak mengalami perubahan hidup, dari susah atau biasa-biasa saja menjadi tampak bertambah makmur. Maka orang itu cepat didesas-desuskan “memelihara” tuyul, tanpa perlu penilaian pengamatan secra factual akan keberhasilan hidup dan apada pola usaha yang ditempuhnya.
Begitu pula seandainya di dalam keluarga terjadi kasus kehilangan perhiasan atau uang. Lagi-lgi kemisteriusan tuyul merupakan “kambing hitam” empuk untuk menutupi suatu tindak pencurian. Padahal yang mencuri boleh jadi salah seorang anggota keluarga dari si pencuri.
Tuyul umumnya dilukiskan sebagai makhluk kerdil berkepala gundul, dan dianggap bias diajak berkomplot untuk melaksankan niat tertentu sesuai tujuan “pemeliharanya”. Sedangkan guna mencegah dari kemungkinan terkena aktivitas merugikan makhluk itu, masayarakat awam berdasarkepercayaannya berupaya mennagkal dengan menggunakan bahan-bahan yang dikiranya ampuh, yaitu berupa menyediakan bangle, bawang putih, ijuk atau lidi aren pada tempat-tempat khusus. Tetapi, keampuhan bahan tersebut yang tidak disyaratkan dengan “doa khusus” guna penangkal makhluk halus tetap mengundang tanda Tanya.
ARWAH BALITA
Masyarakat di bumi  Nusantara banyak  yang punya anggapan, bahwa tuyul berasal dari arwah bayi manusia atau anak-anak di bawah umur lima tahun. Munculnya pendapat ini menganingat, tuyul yang tergolong mahluk halus memang bersosok anak kecil. Hal itu meruapakan cerminan rupa manusia ketika ia masih hidup yang lengkap dengan tubuhnya. Barulah ketika mati, yakni roh meninggalkan tubuh, kelak tinggal sebagai arwah.
Lalu arwah yang sebenarnya tergolong tidak sempurna tadi menjadi gentayangan di seputar jagad, yang berarti belum diterima di sisi Tuhan. Adapun penyebab arwah termaktub gentayangan jelas suatu rahasia Ilahi, dan hanya Allah yang tahu.
Namun demikian sejauh ini ternyata terdapat sangkaan keliru, yaitu apabila seorang bayi meninggal termasuk mati akibat keguguran pasti akan langsung diterima di sisi-Nya. Karena mereka digambarkan masih serba suci dan seringkali diputuskan tidak perlu lagi disertai upacara dalam penguburan sebagai layaknya untuk orang dewasa.
Bahkan terhadap tubuh bayi mati, pihak keluarganya acapkali merasa saying dan menilai, cukup dikuburkan di halaman rumah sendiri. Selanjutnya juga tanpa diikuti memanjatkan doa bagi arwahnya. Tapi anehnya  sekali pun disertai uapacara penguburan layak tetap menjadi tuyul gentanyangan.
Akan halnya anak balita maupun orang dewasa yang mati, arwahnya pada puluhan tahun atau ratusan tahun kemudia setelah kematianya tidaklah berubah  menjadi lebih dewasa, apalagi nampak  tua. Dan sosoknya adaalh sebagimana wujud terakhir sewaktu utuh menyatu dengan tubuhnya. Jadi kalau seorang anak meninggal pada usia 3 tahun, ketika sertaus tahun lagi sosok arwahnya tidak berubah, atau masih selaku anak berusia 3 tahun dan bukan menjadi seorang kakek dalam usia 103 tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar