TUYUL ALIAS
‘ANAK HAMBAR’
Pergunjingan
tentang tuyul atau “anak hambar” sampai sekarang masih dapat terasa hangat,
jika mencuat di sela-sela pembicaraan masyarakat di pedesaan maupun di
kota-kota besar. Lebih-lebih kalau dikaitkan dengan seorang anggota masyarakat
yang terlihat mendadak mengalami perubahan hidup, dari susah atau biasa-biasa
saja menjadi tampak bertambah makmur. Maka orang itu cepat didesas-desuskan
“memelihara” tuyul, tanpa perlu penilaian pengamatan secra factual akan
keberhasilan hidup dan apada pola usaha yang ditempuhnya.
Begitu pula
seandainya di dalam keluarga terjadi kasus kehilangan perhiasan atau uang.
Lagi-lgi kemisteriusan tuyul merupakan “kambing hitam” empuk untuk menutupi
suatu tindak pencurian. Padahal yang mencuri boleh jadi salah seorang anggota
keluarga dari si pencuri.
Tuyul
umumnya dilukiskan sebagai makhluk kerdil berkepala gundul, dan dianggap bias
diajak berkomplot untuk melaksankan niat tertentu sesuai tujuan
“pemeliharanya”. Sedangkan guna mencegah dari kemungkinan terkena aktivitas
merugikan makhluk itu, masayarakat awam berdasarkepercayaannya berupaya
mennagkal dengan menggunakan bahan-bahan yang dikiranya ampuh, yaitu berupa
menyediakan bangle, bawang putih, ijuk atau lidi aren pada tempat-tempat
khusus. Tetapi, keampuhan bahan tersebut yang tidak disyaratkan dengan “doa
khusus” guna penangkal makhluk halus tetap mengundang tanda Tanya.
ARWAH BALITA
Masyarakat
di bumi Nusantara banyak yang punya anggapan, bahwa tuyul berasal dari
arwah bayi manusia atau anak-anak di bawah umur lima tahun. Munculnya pendapat
ini menganingat, tuyul yang tergolong mahluk halus memang bersosok anak kecil.
Hal itu meruapakan cerminan rupa manusia ketika ia masih hidup yang lengkap
dengan tubuhnya. Barulah ketika mati, yakni roh meninggalkan tubuh, kelak
tinggal sebagai arwah.
Lalu arwah
yang sebenarnya tergolong tidak sempurna tadi menjadi gentayangan di seputar
jagad, yang berarti belum diterima di sisi Tuhan. Adapun penyebab arwah
termaktub gentayangan jelas suatu rahasia Ilahi, dan hanya Allah yang tahu.
Namun
demikian sejauh ini ternyata terdapat sangkaan keliru, yaitu apabila seorang
bayi meninggal termasuk mati akibat keguguran pasti akan langsung diterima di
sisi-Nya. Karena mereka digambarkan masih serba suci dan seringkali diputuskan
tidak perlu lagi disertai upacara dalam penguburan sebagai layaknya untuk orang
dewasa.
Bahkan
terhadap tubuh bayi mati, pihak keluarganya acapkali merasa saying dan menilai,
cukup dikuburkan di halaman rumah sendiri. Selanjutnya juga tanpa diikuti memanjatkan
doa bagi arwahnya. Tapi anehnya sekali
pun disertai uapacara penguburan layak tetap menjadi tuyul gentanyangan.
Akan halnya
anak balita maupun orang dewasa yang mati, arwahnya pada puluhan tahun atau
ratusan tahun kemudia setelah kematianya tidaklah berubah menjadi lebih dewasa, apalagi nampak tua. Dan sosoknya adaalh sebagimana wujud
terakhir sewaktu utuh menyatu dengan tubuhnya. Jadi kalau seorang anak
meninggal pada usia 3 tahun, ketika sertaus tahun lagi sosok arwahnya tidak
berubah, atau masih selaku anak berusia 3 tahun dan bukan menjadi seorang kakek
dalam usia 103 tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar